BREAKING

Thursday, April 25, 2013

Jangan Tergantung Teknologi : Kedepankan Pengetahuan dalam Penanggulangan Bencana

Berbagai elemen masyarakat dan instansi peme­rintahan terus menunjukkan kepe­dulian terhadap mitigasi bencana. Terutama dalam menghadapi anca­man gempa dan tsunami, masya­rakat diingatkan jangan bergantung pada teknologi, melainkan pada kemam­puan mitigasi dan penge­tahuan individu menghadapi ben­cana.

Demikian terungkap dalam dis­kusi terbatas Badan Meteorologi Kli­­ma­tologi dan Geofisika (BMKG) Pu­sat, Lembaga Ilmu Pengetahuan In­donesia (LIPI) dan Aliansi Jurna­lis Independen (AJI) Padang dalam membahas kesiap­siagaan bencana di Kantor AJI Pa­dang, Selasa malam (23/4).

Diskusi diikuti Forum Pe­ngurangan Risiko Bencana (PRB) Sumbar, anggota AJI Padang dan sejumlah jurnalis lokal dan nasional. Di waktu yang sama juga berlangsung Forum International Table Top Exercise (TTX) Mentawai Me­ga­thrust Disaster Exercise (DIREx) di Pangeran Beach Hotel.

Pada diskusi itu dibahas sederet bencana yang terus me­nerus menghantui masya­rakat Sumbar. Kemudian, pen­tingnya intervensi penge­ta­huan dalam mengurangi risiko bencana, kemungkinan waktu peristiwa yang berisiko terbe­sar, bagai­ma­na menghindari proyek tekno­logi bermodus bantuan sosial kebencanaan, hingga semboyan baru ma­syarakat Mentawai.

“Kenapa harus menunggu momen untuk mendiskusikan masalah kebencanaan. Toh, ini sudah menjadi kekhawatiran umum,” ungkap Bidang Pen­didikan dan Komunikasi LIPI, Irina Rafliana.

Irina Rafliana menga­ta­kan, la­­tihan kesiapsiagaan dapat meng­intervensi penge­tahauan ma­syarakat Menta­wai. Seperti yang terjadi di salah satu daerah ben­cana. Di sana, 99 persen ma­syara­kat­nya selamat dari tsuna­mi sete­lah masyarakat me­ngi­kuti pe­latihan. Hanya satu orang­ yang meninggal. Pelatihan itu baru pertama kali selama dua ming­­gu. Saat tsunami melanda, se­ki­tar 99 persen dari mereka selamat.

“Hanya ada satu korban, yang sedang mencari kepiting saat kejadian berlangsung. Ber­dasarkan pengalaman itu, lati­han-latihan penting untuk me­ngu­rangi korban jiwa. Ka­lau masyarakat tidak punya penge­tahuan, mereka tidak mampu me­lakukan apa pun saat ada tan­da-tanda benca­na,” tutur Irina.

Seperti diketahui, TTX yang berlangsung tiga hari ini (22-25 April 201) di Padang, dibagi dua sesi; akademik dan latihan. Sesi akademik meli­puti pelatihan sistem peri­ngatan dini tsunami, mana­jemen kedaruratan, meka­nisme kerja sama interna­sional saat bencana, meka­nisme peng­gunaan aset-aset militer dalam masa tanggap darurat, peran masyarakat internasional, serta sesi ber­bagi pengalaman mena­ngani gempa dan tsunami de­ngan pemerintah Jepang.

Sesi latihan, merupakan pelatihan bersama yang me­libatkan pemangku kepen­tingan di tingkat domestik dan regional dalam menghadapi sejumlah skenario kejadian bencana be­sar. “Memang pada sesi latihan tahap I ini, seluruh elemen masyarakat belum dilibatkan. Yang dilibatkan itu, unsur peja­bat pemda seperti BPBD, Kapol­res, Dandim. Ke­mung­kinan, pada tahap selan­jutnya (gelar latihan di lapa­ngan), kita akan melibatkan seluruh elemen ma­sya­rakat,” ujar Ka­penrem 032/ Wira­braja, Mayor Inf Su­pa­di ke­pa­da Padang Eks­pres, kemarin.

Setiap hasil kajian para pene­liti, mestinya dibarengi pem­bentukan protokoler. Le­wat protokol itu, pembinaan dila­kukan. Setiap daerah di pesisir barat Sumatera, harus digam­barkan berada pada keadaan terburuk saat pem­berian pela­tihan. Ini bertujuan agar warga tidak gagap saat mengalami peristiwa yang luar biasa.

Dia memprediksi risiko ter­besar masyarakat Mentawai saat tsunami pada siang hari. Sebab, malam hari biasanya ma­sya­rakat Mentawai ber­kum­pul. Dengan begitu, instruksi akan terarah. Berbanding terbalik dengan asumsi peserta lain, Nanang Suharto yang justru memprediksi risiko terbesar pada malam hari. Alasannya, aktivitas sehari-hari masyarakat Mentawai rata-rata di daerah perbukitan. Sedangkan malam, mereka kembali ke rumah yang mayoritas tinggal dekat pantai.

Nanang yang tergabung da­lam Forum PRB itu, berharap masyarakat jangan meng­gan­tungkan hidup pada teknologi. Dalam artian, hanya menunggu instruksi dan aba-aba dari alat pendeteksi. “Mesti punya penge­tahan juga. Jangan sampai su­dah ada gempa, terus masya­rakat hanya menunggu bunyi sirene, atau tanda-tanda dari alat yang lain. Mana tahu alatnya tidak berfungsi. Jadi, jangan sampai masyarakat menggan­tungkan hidup pada teknologi,” harapnya.

Dia mencontohkan bantuan alat pendeteksi longsor dan gerakan tanah di Malalak, Ta­nahdatar yang tidak berfungsi la­gi. Untuk memperbaikinya, mes­ti dilakukan negara ber­sangkutan.

Diskusi yang berlangsung sekitar tiga jam itu, juga mengu­pas ekses di balik penanganan bencana. Seperti ketergan­tu­ngan Indonesia pada negara lain dalam penanganan bencana, wadah promosi alat-alat canggih kebencanaan, maupun jadi ob­jek dari proyek-proyek teknologi dari sejumlah pihak.

Irina Rafliana mengingatkan bahwa potensi tsunami tidak ha­nya ditandai dengan getaran kuat. Gempa dengan getaran lemah namun lama dan mem­buai, juga memiliki potensi tsunami.

BMKG Pusat, Weniza me­nyampaikan, BMKG sendiri tidak punya kebijakan untuk memberi instruksi evakuasi kepada masyarakat. “Paling lama lima menit pascagempa, BMKG sudah mengeluarkan peringatan dini pertama. Hingga sepuluh menit, kami akan me­nge­luarkan peringatan kedua. Setelah itu peringatan ketiga dan keempat. Kami lalu memberi referensi apakah berpotensi tsunami atau tidak. Jadi, BMKG hanya memberi informasi, bu­kan instruksi,” jelasnya.

Setelah BMKG memberi referensi, diikuti instruksi dari pemerintah daerah melalui BNPB, kepolisian ataupun TNI. “Jadi, kami hanya beri referensi awas, siaga dan waspada. Kebi­jakan selanjutnya, akan lahir dari corong pemerintah,” tutur staf Bidang Mitigasi Gempa Bumi BMKG Pusat itu. (cr1)

Motto""

"LIPI BARU PASTI"
PASTI = Professional, Adaptive, Scientific integrity, Teamwork, Inovative
BARU = Being Accountable, Responsible, Utilizing resources.

Post a Comment

 
Copyright © 2013 Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian